Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Perspektif Islam

Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Perspektif Islam. Perspektif adalah pandangan, nah kali ini bagaimana PAUD dalam perspektif islam mari kita simak penjelasan berikut ini :

egala sesuatu yang dilaksanakan, tentulah memiliki dasar hukum baik itu yang berasal dari dasar naqliyah maupun dasar aqliyah. Begitu juga halnya dengan pelaksanakan pendidikan pada anak usia dini.

Berkaitan dengan pelaksanaan pendidikan anak usia dini, dapat dibaca firman Allah berikut ini:
Artinya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”. (An Nahl: 78)

Berdasarkan ayat tersebut di atas, dipahami bahwa anak lahir dalam keadaan lemah tak berdaya dan tidak mengetahui (tidak memiliki pengetahuan) apapun. Akan tetapi Allah membekali anak yang baru lahir  tersebut dengan pendengaran, penglihatan dan hati nurani  (yakni akal yang menurut pendapat yang sahih pusatnya berada di hati).

Menurut pendapat yang lain adalah otak. Dengan itu manusia dapat membedakan di antara segala sesuatu, mana yang bermanfaat dan mana yang berbahaya. Kemampuan dan indera ini diperoleh seseorang secara bertahap, yakni sedikit demi sedikit. Semakin besar seseorang maka bertambah pula kemampuan pendengaran, penglihatan, dan akalnya hingga sampailah ia pada usia matang dan dewasanya.[1]

Dengan bekal pendengaran, penglihatan dan hati nurani (akal) itu, anak pada perkembangan selanjutnya akan memperoleh pengaruh sekaligus berbagai didikan dari lingkungan sekitarnya. Hal ini pula yang sejalan dengan sabda Rasul berikut ini[2]:

حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى عَنْ مَعْمَرٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
Artinya: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak tersebut beragama Yahudi, Nasrani ataupun Majusi”.(HR. Bukhari, Abu Daud, Ahmad)

Meskipun anak lahir dalam keadaan lemah tak berdaya serta tidak mengetahui apa-apa, tetapi ia lahir dalam keadaan fitrah, yakni suci dan bersih dari segala macam keburukan. Karenanya untuk memelihara sekaligus mengembangkan fitrah yang ada pada anak, orang tua berkewajiban memberikan didikan positif kepada anak sejak usia dini atau bahkan sejak lahir yang diawali dengan mengazankannya.

Hal ini dikarenakan pada prinsipnya fitrah manusia menuntut pembebasan dari kemusyrikan dan akibat-akibatnya yang dapat menyeret manusia kepada penyimpangan watak dan penyelewengan serta kesesatan di dalam berfikir, berencana dan beraktivitas. Bagi manusia kepala merupakan pusat penyimpanan informasi alat indera yang mengatur semua eksistensi dirinya, baik psikologis maupun biologis. Indera pendengaran, penglihatan, penciuman dan indera perasaan diatur oleh kepala.

Tatkala azan berikut kalimah yang dikandungnya, yaitu kalimah Takbir dan kalimah Tauhid, meyentuh pendengaran si bayi, maka kalimah azan tersebut ibarat tetesan air jernih yang berkilauan ke dalam telinganya, sesuai dengan fitrah dirinya. Pada waktu itu si bayi belum dapat merasakan apa-apa, hanya kesadarannya dapat merekam nada-nada dan bunyi-bunyi kalimah azan yang diperdengarkan kepadanya.

Kalimah terebut dapat mencegah jiwanya dari kecenderungan kemusyrikan serta dapat memelihara dirinya dari kemusyrikan. Demikian pula kalimah azan seolah-olah melatih pendengaran manusia (dalam hal ini anak bayi/usia dini) agar terbiasa mendegarkan panggilan nama yang baik, sehingga hal ini menuntut para orang tua untuk memberi (menamai) anaknya dengan nama yang baik serta memiliki makna yang baik pula. Hal ini sejalan dengan sabda Rasul[3] :

حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الْأَسْوَدِ أَبُو عَمْرٍو الْوَرَّاقُ الْبَصْرِيُّ حَدَّثَنَا مُعَمَّرُ بْنُ سُلَيْمَانَ الرَّقِّيُّ عَنْ عَلِيِّ بْنِ صَالِحٍ الْمَكِّيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُثْمَانَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ “أَحَبُّ الْأَسْمَاءِ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ عَبْدُ اللَّهِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ” قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ
Artinya: “Nama yang paling disukai Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman”.(HR. At-Tirmizi)
Nama yang indah sesungguhnya tidak hanya sekedar nama atau panggilan, tetapi sesungguhnya merupakan cerminan tentang adanya pujian atau do’a, harapan atau gambaran semangat dan dambaan indah kepada anak-anaknya.

Dalam mendukung perkembangan anak pada usia-usia selanjutnya, termasuk pada usia dini, yang menjadi kewajiban orang tua adalah memberikan didikan positif terhadap anak-anaknya, sehingga anak-anaknya tersebut tidak menjadi/mengikut ajaran Yahudi, Nasrani atau Majusi, melainkan menjadi muslim yang sejati. Mendidik anak dalam pandangan Islam, merupakan pekerjaan mulia yang harus dilaksanakan oleh setiap orang tua, hal ini sejalan dengan sabda Rasul[4] :

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَعْلَى عَنْ نَاصِحٍ عَنْ سِمَاكِ بْنِ حَرْبٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَأَنْ يُؤَدِّبَ الرَّجُلُ وَلَدَهُ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَتَصَدَّقَ بِصَاعٍ
“Seseorang yang mendidik anaknya adalah lebih baik daripada ia bersedekah dengan satu sha'(R. Tirmidzi)

Dalam pandangan Islam anak merupakan amanah di tangan kedua orang tuanya. Hatinya yang bersih merupakan permata yang berharga, lugu dan bebas dari segala macam ukiran dan gambaran. Ukiran berupa didikan yang baik akan tumbuh subur pada diri anak, sehingga ia akan berkembang dengan baik dan sesuai ajaran Islam, dan pada akhirnya akan meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Jika anak sejak dini dibisakan dan dididik dengan hal-hal yang baik dan diajarkan kebaikan kepadanya, ia akan tumbuh dan berkembang dengan baik dan akan memperoleh kebahagiaan serta terhindar dari kesengaraan/siksa baik dalam hidupnya di dunia maupun di akhirat kelak.

Hal ini senada dengan firman Allah:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (At Tahrim: 6)

Terhadap ayat ini Ibnu Kasir dalam tafsirnya menjelaskan, bahwa ayat ini menganjurkan kepada setiap individu muslim bertakwa kepada Allah dan perintahkanlah kepada keluargamu untuk bertakwa kepada Allah. Ibnu Kasir menjelaskan bahwa Qatada mengatakan bahwa engkau perintahkan mereka untuk taat kepada Allah dan engkau cegah mereka dari perbuatan durhaka terhadapNya, dan hendaklah engkau tegakkan terhadap mereka perintah Allah dan engkau anjurkan mereka untuk mengerjakannya serta engkau bantu mereka untuk mengamalkannya.

Jika engkau melihat di kalangan keluargamu suatu perbuatan maksiat kepada Allah, maka engkau harus cegah mereka darinya dan engkau larang mereka melakukannya. Hal yang sama juga dikemukakan Ad-Dahlak dan Muqatil, bahwa sudah merupakan suatu kewajiban bagi seorang muslim mengajarkan kepada keluarganya, baik dari kalangan kerabatnya ataupun budak-budaknya, hal-hal yang difardukan oleh Allah dan mengajarkan kepada mereka hal-hal yang dilarang oleh Allah yang harus mereka jauhi.[5]

Berdasarkan ayat tersebut, dipahami bahwa orang tua memiliki kewajiban untuk memelihara diri dan keluarga (anak-anaknya) dari siksaan api neraka. Cara yang dapat dilakukan oleh orang tua ialah mendidiknya, membimbingnya dan mengajari akhlak-akhlak yang baik.

Kemudian orang tua harus menjaganya dari pergaulan yang buruk, dan jangan membiasakannya berfoya-foya, jangan pula orang tua menanamkan rasa senang bersolek dan hidup dengan sarana-sarana kemewahan pada diri anak, sebab kelak anak akan menyia-nyiakan umurnya hanya untuk mencari kemewahan jika ia tumbuh menjadi dewasa, sehingga ia akan binasa untuk selamanya. Akan tetapi seharusnya orang tua sejak dini mulai mengawasi pertumbuhannya dengan cermat dan bijaksana sesuai dengan tuntutan pendidikan Islam.[6]

Dari uraian di atas kiranya dapat disebutkan bahwa tujuan pendidikan anak usia dini dalam pandangan Islam adalah memelihara, membantu pertumbuhan dan perkembangan fitrah manusia yang dimiliki anak, sehingga jiwa anak yang lahir dalam kondisi fitrah tidak terkotori oleh kehidupan duniawi yang dapat menjadikan anak sebagai Yahudi, Nasrani atau Majusi.

Atau dengan kata lain bahwa pendidikan anak usia dini  dalam pendidikan Islam bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai keislaman kepada anak sejak dini, sehinga dalam perkembangan selanjutnya anak menjadi manusia muslim yang kāffah, yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.

Hidupnya terhindar dari kemaksiatan, dan dihiasi dengan ketaatan dan kepatuhan serta oleh amal soleh yang tiada hentinya. Kondisi seperti inilah yang dikehendaki oleh pendidikan Islam, sehingga kelak akan mengantarkan peserta didik pada kehidupan yang bahagia di dunia maupun di akhirat.

Referensi :
[1] Al Imam Abul Fida Ismail Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir Al Qur’an al-‘Ażīm, terjemahan Bahrum Abu Bakar, Tafsir Ibnu Kaśīr juz 14, (Bandung: Sinar Baru Algesindo,2003), h. 216.
[2] Abu Abdullah ibn Muhammad Isma’il al-Bukhari, Shahih Bukhri Juz I, (Riyadh: Idaratul Bahtsi Ilmiah,tt), h. 25.
[3] Imam al-Hafidz Abi ‘Abbas Muhammad ibn ‘Isa ibn Saurah  at-Tirmiżi, Sunan at-Tirmiżi al-Jami’us Şahih, juz 4, (Semarang: Toha Putra,tt,). H. 216.
[4] Imam al-Hafidz Abi ‘Abbas Muhammad ibn ‘Isa ibn Saurah  at-Tirmiżi, Sunan at-Tirmiżi al-Jami’us Şahih, juz 3, (Semarang: Toha Putra,tt,). h  227
[5] Ibnu Kasir, Tafsir Al Qur’an al- Ażīm juz 28…, h. 416.
[6] Muhammad Ali Quthb, Auladuna fi Dlau-it Tarbiyyatil Islamiyyah, terjemahan Bahrum abu Bakar Ihsan, (Bandung: Diponegoro,1988), h. 59.

12 September 2017 14:09
Dikategorikan dalam:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

12 + six =